Minggu, 24 Oktober 2021

Pahit dan Manis

 Telan Kepahitan untuk Manisnya Masa Depan


Pada umumnya rasa manis itu menyenangkan dan ingin dinikmati terus oleh manusia. Namun rasa manis yang berkepanjangan dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Sebaliknya rasa pahit tidak menyenangkan karena getirnya kadang sulit hilang dan tidak menyenangkan rasa. Namun kegetiran belum tentu ketidakbaikan untuk masa depan.

Begitulah dengan menuntut ilmu dilakukan dengan susah payah, bermandikan peluh di dalam kepala, meskipun badan tidak berkeringat. Kepenatan, kesusahan dan beraneka cobaan yang melelahkan jiwa dan raga akan mendapatkan manis di kemudian hari. Manis yang menyehatkan jiwa dan raga. Manis yang membahagiakan dan menentramkan kehidupan.

Sebaliknya, keengganan menelan getirnya menuntut ilmu lebih memilih bersenang senang dengan meninggalkan menuntut ilmu berimplikasi pada kesulitan dan kepahitan di masa kemudian. Masa kemudian jangka pendek di dunia maupun masa kemudian dimasa yang lebih kekal. Dengan berilmu manusia dapat menjalani kehidupan dengan kehidupan yang lebih bermakna, beramal dengan benar sebenar-benarnya. Dengan demikian kebenaran akan menuntun kepada kebahagiaan yang hakiki.

Tepat apa yang disampaikan Imam Syafi'i, “Barang siapa belum pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu walau sesaat, ia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya”


Senin, 18 Oktober 2021

Bener dan Pener

 Bener dan Pener

Oleh : Yuliyanto

Kebenaran yang diungkapkan harus tepat ruang dan waktu dalam bahasa daerah (Jawa) pener. Tentu kebenaran dalam olah pikir memerlukan perenungan agar konsisten setelah melakukan analisa dari logika-logika yang dijalani. Pembuktian kebenaran dapat dilakukan dengan berdasarkan pengalaman yang sering disebut kebenaran empiris. Pembuktian kebenaran dalam alam pikir  dapat dilakukan dengan rasionalisasi alam pikir.

Perubahan berjalan terus tidak ada yang tetap, karena yang terus berjalan adalah perubahan. Saat kita mengatakan A maka, tidak lagi dapat diulangi waktu yang ada saat itu. Perubahan posisi A dalam rumusan A=A ada dalam alam pikir, kalau dalam kenyataan posisi keduanya berbeda sehingga sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran. Kebenaran A=A ada dalam alam pikir tidak dalam tulisan maupun simbol-simbol yang ada. 

Dalam proses menemukan kebenaran tidak perlu meragukan kebenaran keberadaan Tuhan apalagi sampai tidak percaya adanya Tuhan untuk mendapatkan kebenaran keberadaan Tuhan. Kebenaran keberadaan Tuhan tidak boleh sampai muncul ketika mempelajari kebenaran dalam filsafat. Belajar ilmu filsafat harus dilandasi dengan keimanan sehingga kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran yang bermakna dalam kehidupan. 

Kebenaran ilmu harus merupakan kombinasi antara sintetik dan apriori, tidak baik kalau memisahkan keduanya. Pemisahan oleh kekuasaan dan sifat egoisme menimbulkan ketidakseimbangan pemikiran. Pemisahan ini menimbulkan kesemuan kebenaran dimana kebenaran yang didapat hanya dari satu sisi.

Oleh karena itu bertindak dan berpikir secara tepat menentukan kebijakan yang dilakukan seseorang. Kebijakan dalam bertindak berdasarkan kebenaran yang didapat dari olah pikir dilandasi ketepatan berpikir menempatkan “bener dengan pener “ yakni benar dan tepat/ 


Minggu, 17 Oktober 2021

Refleksi Kesempurnaan

 

SEMPURNA

Oleh : Yuliyanto,S.Pd.

 

Manusia adalah makhluk sempurna, jelas sekali dalam firman Allah surat At Tin ayat 4 “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”. Sebaik-baiknya disini ada yang mengartikan sempurna.

Benar bahwa manusia adalah makhluk sempurna yang diciptakan Yang Maha Kuasa. Pengamatan obyektif menunjukkan fisik manusia lebih bagus dari makhluk lainnya. Binatang atau hewan yang cantik, menarik, menyenangkan, dan bahkan dengan kelebihan yang banyak tetap tidak dapat mengungguli sifat yang ada pada diri manusia. Kesempurnaan sifat fisik ini menunjukkan kelebihan yang ada pada diri manusia. Meskipun ada beberapa manusia yang memiliki fisik berbeda dengan manusia pada umumnya. Namun sifat fisik ini tentu tidak bisa untuk menggeneralisasi bahwa manusia lebih rendah dibanding makhluk lainnya.

Kesempurnaan fisik manusia ditunjang dengan adanya akal. Akal seringkali disamakan dengan otak. Kalau hewan dan manusia sama-sama memiliki otak, tentu ada yang membedakan sehingga menunjang sifat kesempurnaan manusia. Yang membedakan itu adalah akal untuk berfikir. Dari akal inilah manusia bertumbuh dan berkembang semakin baik dari waktu ke waktu. Manusia diawal hidupnya belajar diawali dengan insting seperti hewan, kemudian manusia dapat berkembang belajar dari pengalaman dan meningkatkan diri untuk sesuatu yang lebih baik. Sedangkan hewan terus menerus menggunakan insting untuk hidup.

Manusia memiliki akal yang bagus, namun untuk hidup lebih baik perlu adanya pengendalian rasa yang sering disebut budi. Dengan budi manusia menjadi lebih indah dalam hidupnya, dapat menuju keindahan yang hakiki karena akal dilandasi dengan budi yang baik. Sensor budi diberikan oleh Yang Maha Kuasa dengan seperangkat daging yang disebut hati. Tentu hati disini bukan semata organ hati yang ada di rongga dada, namun hati yang menyifati perilaku manusia. Hal ini diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Ternyata kesempurnaan manusia itu terletak pada ketidaksempurnaannya. Bermakna manusia harus menuju kesempurnaan sejati dengan terus menggali potensi dirinya untuk terus menuju kesempurnaan yang hakiki. Perangkat tersebut ada pada akal dan budi. Jika akal dan budi tidak digunakan untuk menuju kesempurnaan sejati bisa jadi manusia akan menjadi makhluk yang hina. Hal ini diperingatkan oleh Allah dalam surat At Tin ayat 5 “kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,

Menuju kesempurnaan yang sejati harus terus diupayakan meski kita sempurna dalam ketidaksempurnaan.

Wong Tua

 Wong Tua

Oleh : Yuliyanto


Menjadi tua atau dituakan itu banyak hal yang tidak bisa dimengerti oleh orang yang belum tua atau belum dituakan. Berat memang menanggung "usia" yang telah di"tua"kan.

Real, orang "tua" sering tidak bisa dimengerti oleh anak atau orang yang jauh beda usia. Bisa jadi memang wawasan orang "tua" yang kurang pener, walaupun tidak sedikit pula orang "muda" yang kurang pener wawasan.

Berkolaborasi untuk mensinergikan sesuatu pun sering menjadi suatu permasalahan tersendiri. Tidak dipungkiri bahwa untuk mengubah sesuatu dibutuhkan generasi yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Saling menghargai dan memahami karakteristik masing-masing merupakan modal dasar sebenarnya untuk tumbuhnya sinergitas di antara keduanya. Sehingga tidak perlu adanya pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan muda atau suasana diktator yang diciptakan oleh kalangan tua.

Ternyata keduanya berpangkal pada karakter untuk bisa saling menghargai dan mengerti serta memahami. Untuk mengesampingkan ego tidaklah mudah, apalagi harus membunuh ego sendiri.

Seperti kisah di pedukuhan Karang Kadempel, orang tua yang bijak itu seringkali ditinggalkan oleh anaknya sendiri bersama kawan pemuda yang lain untuk melakukan gerakan-gerakan perbaikan versi anaknya. Ki Semar Badranaya hanya bisa mengelus dada sambil merenungi nasibnya yang sudah semakin "tua". Ingin rasanya meninggalkan ke"tua"an yang ia sandang namun tidak tega karena kepercayaan dari rakyat Karang Kadempel yang selama ini menggantungkan nasehat kepada Ki Semar.

Dengan seberkas cahya harapan, semoga generasi muda penggantinya memiliki akhlak yang mulia untuk menghargai yang lebih tua, bagaimanapun apabila usia dipanjangkan ataupun orang sudah menjadi dituakan, banyak keterbatasan dan hal-hal yang tidak bisa dimengerti pada waktu itu.


Transformasi diri sendiri untuk transfer energi positif diri.

feature ringan

  Veteran Pramuka Moyudan “Tersesat Bahagia” di Magelang Hari itu Sabtu, 25 Oktober 2025, pagi yang sedikit mendung di Pedaran jadi saksi se...