Selasa, 28 Oktober 2025

feature ringan

 Veteran Pramuka Moyudan “Tersesat Bahagia” di Magelang


Hari itu Sabtu, 25 Oktober 2025, pagi yang sedikit mendung di Pedaran jadi saksi semangat 17 veteran pembina Pramuka Moyudan berwisata bersama ke Tol Kayangan dan pemandian air hangat Tempuran, Magelang.

Empat mobil sudah siap berangkat, dan suasana riuh penuh canda khas keluarga besar Pramuka.


🚗 Babak 1: Mobil Depan yang Sampai Belakang

Rombongan awalnya dipimpin kak Biman melaju di jalan sempit, namun sesampai di seputaran arah sawangan akhirnya dipimpin mobil Kak Supri yang gagah melaju paling depan. Tapi entah kenapa, saat sampai di tujuan... mobil paling depan ini malah tiba paling belakang!

Katanya sih, “Kami tadi pelan biar rombongan nggak ketinggalan…” — padahal sepertinya GPS-nya yang ketinggalan. 😄


💸 Babak 2: Bayar Dua Kali, Untung Bisa Retur

Lucunya lagi, di pintu masuk Tol Kayangan, mobil Kak Subiman semangat bayar tiket — tapi ternyata bendahara juga ikut membayar untuk mobil itu.

Akhirnya, harus “retur dana wisata” supaya nggak ada yang tekor.

Ini baru namanya disiplin administrasi ala Pramuka sejati! Bertanggung jawab dan dapat dipercaya 🤣



🗺️ Babak 3: Dipandu Google Map, Tapi Salah Mode

Jam 11.10 rombongan melanjutkan perjalanan ke pemandian air hangat Tempuran.

Kali ini Kak Yuli ditunjuk jadi penunjuk jalan, karena Sabtu sebelumnya sudah pernah ke sana.

Dengan percaya diri, beliau membuka Google Maps… dan memimpin jalan.

Sayangnya, GPS-nya masih mode kendaraan roda dua!

Alhasil, empat mobil besar harus masuk jalan kecil, sempit, lalu muter balik jauh-jauh.

Sepanjang jalan terdengar tawa dan komentar khas pembina: 

“Ini baru latihan survival di jalan pedesaan, luar biasa!” 😂


💦 Babak 4: Masuk Kolam Anak-anak

Setelah perjuangan panjang, akhirnya sampai di pemandian.

Namun ternyata pemandian pertama yang dimasuki khusus untuk anak-anak!

Rombongan yang sudah siap rendaman terpaksa keluar lagi di tengah hujan deras, pindah ke pemandian sebelah.

Meski basah kuyup dan dingin, tawa tidak berhenti. Semua menyalahkan Kak Yuli — tentu dengan penuh sayang dan gelak tawa.


🚕🚕🚙🚗 Babak 5 : mobil belok kagol

Meskipun awal keberangkatan kak Biman menunjukkan kehebatannya sebagai driver di jalan sempit sekitar rumahnya, namun ternyata pulang dari Tempuran mobilnya "nyangkut" waktu mau belok. Alhasil mobil kak Yuli harus mudur dan berbagi tempat dengan mobil kak Bagyo. Uh uh uh, ternyata nyopirnya jago kandang kata kak Pur disambut tawa teman teman 😂


🍜 Babak 6: Soto Penutup Kebahagiaan

Sebelum pulang, rombongan menyempatkan diri mampir jajan soto hangat di sekitar Candi Mendut.

Obrolan penuh canda terus mengalir, membahas “kisah tersesat yang membahagiakan” hari itu.

Tak ada yang menyesal — karena di setiap salah jalan, selalu ada tawa, kebersamaan, dan kenangan.

Kesimpulan:

Walau pemandu jalan sempat “terlalu percaya diri” dan bendahara sempat “kelebihan bayar”, hari itu jadi bukti bahwa veteran Pramuka Moyudan tetap tangguh, ceria, dan kompak — bahkan saat salah arah sekalipun!

Selasa, 26 Agustus 2025

“Semut Kecil dan Hati yang Besar”

 “Semut Kecil dan Hati yang Besar”

diambil dari kisah nyata

Oleh : Yuliyanto


    Pagi itu, Bu Sumarni sudah bersiap sejak subuh. Dengan setelan sederhana dan map berisi fotokopi Kartu Keluarga, KTP, serta surat keterangan dari sekolah, ia menuju bank untuk mengaktivasi rekening bantuan PIP milik putranya, Raka, siswa kelas 8 di sebuah SMP negeri.

    “Alhamdulillah, ini rezeki anak kita,” ucapnya kepada suaminya sebelum berangkat. Senyumnya merekah walau kakinya belum benar-benar pulih dari sakit beberapa minggu lalu.

    Namun, perjalanan ke bank tidak semudah yang ia bayangkan. Di pertigaan kampung, motor yang ia tumpangi tiba-tiba mogok. Ia harus mendorongnya hampir satu kilometer. Sesampainya di bank, antrian sudah panjang. Cuaca panas terik menambah lelah di tubuhnya. Tapi ia tetap sabar. Demi anak.

    Ketika akhirnya dipanggil ke teller, ia diberi tahu bahwa ada kesalahan penulisan nama di buku tabungan. Ia harus kembali ke sekolah untuk meminta surat pembetulan. Dengan lelah, ia menghela napas, lalu naik ojek menuju sekolah.

    Dalam perjalanan pulang, tubuhnya terasa lemas. Sesampainya di rumah, ia mengeluh telinganya terasa gatal dan berdengung. Beberapa saat kemudian, rasa nyeri tak tertahankan menyerang telinganya. Suaminya panik, dan segera membawanya ke IGD RSU terdekat.

    Di rumah sakit, dokter menemukan seekor semut kecil yang masuk cukup dalam ke saluran telinga. Entah dari mana datangnya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga hati yang mulai lelah.

    Di ruang tunggu, sambil menahan perih dan lelah, suaminya menggenggam tangannya dan berkata pelan,

    “Marni… mungkin ini pertanda. Kita bukan keluarga yang berlebih, tapi masih cukup. Lihatlah sekeliling. Masih banyak yang lebih membutuhkan. Bagaimana kalau PIP itu kita kembalikan saja? Biar jadi jalan rezeki orang lain yang lebih membutuhkan.”

    Bu Sumarni terdiam. Air mata menetes pelan. Bukan karena sakit, tapi karena hatinya tersentuh. Ia sadar, niat baik tidak selalu harus diwujudkan dengan menerima. Kadang, menolak sesuatu demi orang lain juga bentuk paling tulus dari kebaikan.

    Beberapa hari kemudian, Bu Sumarni mendatangi sekolah. Ia menyampaikan keputusan kepada pihak sekolah:

    “Terima kasih atas bantuannya. Tapi kami ikhlas bila beasiswa ini diberikan pada anak lain yang lebih membutuhkan. Kami masih bisa berjuang.”

    Kisah Bu Sumarni menyebar pelan di antara wali murid lain. Bukan karena dramanya. Tapi karena keberaniannya memilih memberi di saat bisa menerima.

    Kadang, inspirasi datang dari hal kecil.

Bahkan dari seekor semut di telinga—yang mengetuk pintu hati dan membuka jalan kebaikan.

Selasa, 01 April 2025

 The Independence of Satanic

April 2025

Oleh : Yuliyanto


    Selama sebulan penuh di bulan Ramadan, para setan dibelenggu. Dunia menjadi lebih tenteram. Manusia berlomba-lomba dalam ibadah, masjid-masjid penuh, dan kebiasaan baik menjadi hal yang lazim dilakukan. Namun, begitu gema takbir berkumandang menandakan akhir Ramadan, belenggu itu terlepas. Para setan pun bersorak merayakan "kemerdekaan" mereka.

    Hari pertama setelah Ramadan, mereka berpesta. Langit malam dipenuhi cahaya kembang api dan petasan yang meledak tanpa henti, bukan sebagai tanda syukur, melainkan pemborosan. Uang yang sebelumnya ditahan untuk zakat dan sedekah, kini dihamburkan untuk mercon dan hiburan tanpa makna.

    Di sudut lain, pasar dan pusat perbelanjaan masih penuh sesak. Orang-orang yang sebulan lalu menahan diri kini berbondong-bondong memenuhi setiap gerai, membeli barang-barang yang tak benar-benar mereka butuhkan. Kemubaziran merajalela. Makanan lezat tersaji berlimpah di meja makan, namun sebagian besar akhirnya berakhir di tempat sampah.

    Di jalanan, pemandangan pun berubah. Jika sebelumnya orang-orang berbondong-bondong menuju masjid, kini mereka lebih tertarik menghabiskan waktu di tempat hiburan, menikmati kemewahan dan pesta pora. Hedonisme tumbuh subur, menutupi jejak kesederhanaan dan keikhlasan yang telah ditanam selama bulan Ramadan.

    Dan di masjid? Sepi. Saf yang sebelumnya rapat kini kembali renggang. Suara lantunan ayat suci yang biasa menggema kini digantikan oleh hiruk-pikuk duniawi. Ibadah yang sebulan lalu dijaga dengan penuh disiplin, kini mulai ditinggalkan. Setan-setan tertawa puas. Mereka telah kembali, dan manusia dengan sukarela kembali mengikuti jejak mereka.

    Namun, tidak semua manusia terperdaya. Masih ada yang tetap teguh, mempertahankan kebiasaan baik yang telah mereka bangun di bulan suci. Mereka inilah yang menjadi pengingat, bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan latihan agar manusia tetap mampu menahan godaan setan, bahkan ketika belenggu telah dilepaskan.

    Dan di antara kegelapan kemerdekaan setan, cahaya kebaikan itu masih ada—menunggu siapa saja yang mau tetap berjalan di jalan yang lurus.

 Rukuh Apek

Catatan Lebaran 31 Maret 2025

Oleh : Yuliyanto

Lebaran tahun ini, kami memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah saudara di kampung lain. Di tengah perjalanan, kami mampir ke sebuah masjid Jami' yang cukup tua namun megah untuk menunaikan salat Dzuhur. Namun, ada satu hal yang luput dari perhatian yakni rukuh di masjid itu berbau apek.

Istriku yang hendak mengenakan rukuh itu langsung mengernyit. Aku melihatnya ragu-ragu, tetapi tak punya pilihan lain. Ia pun mengenakan rukuh itu dengan sedikit menahan napas. Apalagi sang imam melaksanakan shalat dengan sujud yang begitu lama. Begitu selesai shalat, ia segera keluar dengan ekspresi lega.

"Aduh, Mas, rukuhnya apek sekali," bisiknya padaku. "Sepertinya sudah lama tidak dicuci."

Aku hanya tersenyum kecil. Namun, sesuatu tampak mengusik benaknya. Di perjalanan pulang, ia terdiam sejenak lalu berkata, "Mas, aku baru ingat. Di masjid kampung kita, rukuhnya juga seperti ini, ya?"

Aku mengangguk, menyadari hal yang sama. Rukuh-rukuh yang tersedia untuk jamaah perempuan sering kali terabaikan. Dipakai berkali-kali, jarang dicuci, dan akhirnya berbau tak sedap.

Saat jamaah Shalat Subuh, istriku langsung semangat, ia mengumpulkan rukuh yang ada, membawanya pulang, dan mencucinya satu per satu. Tidak lama karena hari begitu terik, cucian pun sudah kering dan waktu Luhur tiba, segera rukuh/ mukena dibawa ke  masjid dalam  keadaan bersih dan wangi. Dan yang lebih mengesankan kebetulan sudah ada ibu-ibu dari kampung lain yang mau shalat Luhur di masjid.

Legaaaa.

Selasa, 13 Agustus 2024

Torani

 Torani


    Riak-riak putih bergulung-gulung seperti hendak menerbangkan kapal Kelimutu yang semakin lama semakin menjauh dari dermaga mewah Tanjung Mas Semarang. Kuraih angan kugapai mimpi kenangan melintas begitu indah bersama kapal tua 35 an tahun yang lalu. Bahtera besi yang setia mengarungi samudera nusantara mengantarkan anak bangsa dari sudut-sudut nusantara menuju asa masing masing. 

    Pelan namun pasti deru mesin tua terus menggetarkan lantai kayu yang juga sudah rapuh disana-sini. Kutatap samping kanan kiri kapal yang riak-riaknya kian berbusa-busa seperti dosen killer yang semangat sekali memberikan kuliah yang seringkali tidak aku pahami ketika perkuliahan dulu diiringi kantuk tak tertahankan di kampus. 

    Tatapanku terganggu dengan kelebatan bayangan hitam sambil menyeringai ringan seakan menghina diriku yang tertegun dan terpaku tak berdaya menatap kelebatan itu menjauh dari kapal. Senyuman bulan separuh tak mampu menjelaskan apa itu kelebatan yang lenyap ditelan malam. Merenung, mengingat, menjuntaikan harapan untuk memahami apa yang terjadi, sesaat aku melongo sendirian dikesepian malam diombang ambing ombak tengah laut Jawa yang mendesirkan angin asin.

    Tarawani, ya tarawani penduduk setempat sekitar Makasar menyebut kelebatan hitam tersebut. Tarawani menjadi maskot sebuat stasiun TV swasta waktu itu. Ternyata bukan bayangan yang menyeramkan ketika aku tahu pagi harinya banyak ikan terbang itu berada disekitar kapal. Subhanallah begitu indah melihat mereka terbang dengan "sayap" yang tidak mengepak dan beresiko disambar burung pemangsa ikan segar. Aku belum pernah memakan ikan tarawani, rasanya pingin mencoba sedapnya tarawani bakar.

    Budaya warga Makasar menangkap ikan tarawani terangkum dalam Torani sebagai sebutan perburuan telur ikan tarawani.


Jumat, 02 Agustus 2024

Mak Cess

 Mak Cess


    Ketika embun pagi menyentuh daun, seakan menenangkannya dari kerontang hari sebelumnya, datanglah seorang pendidik senior ke hadapanku, membawa beban yang terlihat sepele namun ternyata menyesakkan hati.

    "Assalamualaikum, permisi Pak, saya ingin mencurahkan isi hati," katanya dengan nada yang serupa angin lembut, meski aku tahu di balik kata-katanya, badai sedang bergejolak.

    Dalam hatiku, timbul pertanyaan: Apa gerangan badai yang sedang mengguncang damai hatinya? Bukankah selama ini ia selalu tenang bak danau tanpa riak?

    "Saya kemarin mendapat tugas untuk menghadiri bimtek. Lalu, diberikanlah saya secarik kertas SPPD, dan sekarang sudah cair dana yang diberikan oleh Ibu Bendahara," katanya dengan bibir bergetar, seperti daun di ujung ranting yang rapuh. Namun, sebelum ia melanjutkan, kucegat dengan pertanyaan tajam, "Lalu, apa yang menjadi masalah, Bu?"

    "Saya juga mendapat uang transport dari tempat bimtek, tapi kan aturannya tidak boleh double. Saya takut uang ini berbau haram, Pak," katanya, dan aku bisa merasakan betapa hatinya berguncang seperti daun yang hampir terlepas dari rantingnya.

    Sejenak aku terpaku, pikiranku berlari-lari mencari jawaban yang tepat. Di satu sisi, ada banyak orang yang hanya mau bergerak jika dijanjikan emas atau perak. Namun, di hadapanku, ada jiwa yang menolak limpahan berlebih, khawatir kalau itu adalah tetes air yang mencemari kebeningan hatinya. Di zaman seperti ini, di mana banyak yang menunggu pelangi hanya untuk mengambil emas di ujungnya, aku berhadapan dengan seseorang yang ingin melepaskan emas itu kembali ke alam.

    Dengan hati-hati, aku mencoba merangkai kata-kata, seolah menenun benang sutra dalam diam, "Bu, beberapa kali Ibu telah saya tugaskan dalam berbagai kegiatan, tetapi tidak ada transport atau kompensasi. Maka, apa yang Ibu terima saat ini adalah pengganti dari apa yang telah Ibu keluarkan sebelumnya. Ini bukanlah bayaran ganda yang melampaui batas, melainkan sekadar penyeimbang neraca yang pernah berat sebelah."

    Namun, si ibu tetap teguh, seperti karang di lautan, menghadapi ombak yang terus menggulung. Ia ngotot ingin mengembalikan emas yang ia rasa bukan miliknya.

    Akhirnya, aku menyerah pada kebaikan hatinya, "Bu, jika memang hati Ibu belum juga tenang, belanjakanlah uang itu di mana saja yang menurut Ibu bisa membawa kedamaian. Yakinlah, itu adalah hak yang sudah sepatutnya diterima."

    Dengan wajah sebersih pualam, si ibu akhirnya menerima saranku, dan pergi setelah berpamitan. Ketika ia pergi, aku tertunduk, merenung, dan tersentuh oleh keikhlasannya yang datang dari lubuk hati yang terdalam. Ia bagaikan embun yang menyentuh relung jiwaku, membawa kesejukan yang tak terduga.

    Hatiku menjadi tenang, ayem tentrem, seolah-olah melihat cahaya keemasan turun dari langit, membayangkan jika sikap seperti itu dimiliki oleh banyak orang. Mungkin saja, keberkahan hidup akan mengalir tanpa henti, seperti aliran air jernih yang tak pernah kering. Mak Cess.

Senin, 29 Juli 2024

Karimunjawa

 Healing Tadabbur Karimunjawa 

Jum'at-Ahad,26-28 Juli 2024 


Kapal Kelimutu 

    Melihat schedule perjalanan menuju Karimunjawa dengan menaiki kapal Kelimutu, pikiranku menerawang jauh sekitar 35 tahun yang lalu. Iya karena aku pernah menaiki kapal tersebut dari Surabaya selama kurang lebih 5 hari menuju Kupang NTT. 

    Ternyata kapal Kelimutu masih relatif sama dengan waktu aku menaikinya. Tentu ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan atau setidaknya penggantian bagian yang memang layak diganti seperti kasur tempat tidur dan yang lebih membedakan adalah kloset toilet. 

    Ada kenangan sedikit dengan kloset toilet, waktu itu aku kehilangan jam tangan yang pertama kali aku miliki yakni jam tangan merk Alba waktu itu seharga Rp35.000. Sehabis memandikan keponakan dan kuantarkan kepada ibunya, aku menuju kamar mandi lagi untuk mandi, jam tangan kulepas dan ku taruh di saku baju. Ketika aku membuka baju untuk mandi jam tangan itu pun melayang dan jatuh tepat di kloset. Tanganku segera sigap menyusul jam tanganku, dan ternyata klosetnya bukan model leher angsa, tapi langsung ke bawah berupa pipa mungkin langsung ke laut. Melayanglah jam tangan kesayangan.

    Sepanjang perjalanan kurang lebih 7 jam memori teringat ketika mengantarkan keponakan, makanan yang disajikan merupakan makanan cepat saji barangkali artinya memasaknya tidak dengan bumbu yang lengkap. Empuknya kurang mungkin juga bumbunya kurang karena memang memasak untuk ratusan penumpang. Namun bagaimanapun rasanya tetap menjadi santapan wajib untuk menjaga kondisi badan. Dalam perjalanan ini aku tidak sempat ataupun memang tidak diberikan menu makanan pagi karena sampai di pelabuhan Karimunjawa masih sangat pagi sehingga kami pun langsung turun menuju angkutan yang sudah disiapkan oleh event organizer. 

Pohon Jambu Mete

    Dari pelabuhan rombongan kami per 38 orang dibagi menjadi beberapa Armada setiap Armada kurang lebih 6 sampai 7 orang. Untuk tas dijadikan satu dalam mobil pick up. 

    Sepanjang perjalanan kami melihat nyiur melambai ke sana kemari dengan angin khas pantai pagi hari. Perjalanan kurang lebih 40 menit menuju ke bagian lain pulau Karimunjawa yakni ke Java Paradise Resort tempat kami menginap. Di kanan kiri sepanjang perjalanan terdapat banyak pohon mete dengan pohon yang menjulang tidak terlalu tinggi namun besar dengan cabang dan ranting yang begitu banyak. Tentu bertanya-tanya dalam hati kenapa banyak pohon mete yang bisa begitu besar sedangkan di Jawa khususnya di tempat tinggal kami di Sleman tidak banyak lagi pohon mete. Mungkin di Karimunjawa pohon mete menjadi bagian dari komoditas hortikultura.

    Sejenak kami ngobrol dengan driver yang mengantarkan kami ternyata beliau adalah guru olahraga di MTs Ma'arif. Sebagai driver dia melaksanakan tugas berbisnis 4 hari, karena mengajar di sekolah hanya diambil 3 hari, begitulah kehidupan di daerah wisata di mana sumber kehidupan lebih menarik dan lebih menjanjikan di sektor pariwisata. Kijang Innova pun meluncur dengan enak karena jalan sudah relatif diperbaiki dibanding sebelumnya menurut driver dikarenakan pada waktu itu akan dihadiri oleh PJ gubernur namun tidak jadi karena ada acara lain. Alhamdulillah kami menikmatinya jalannya sudah relatif baik.

Pohon Dewandaru 

    Sempat kami tanyakan kepada driver tentang pohon dewandaru. Dikatakan ada tiga pohon yang unik di Karimunjawa yakni pohon dewandaru pohon stigi dan pohon kalimasada. Ketika pohon memiliki keunikan masing-masing yang memang menjadi ciri khas di Karimunjawa. 

    Pohon dewandaru yang menurut mitosnya tidak boleh dibawa keluar dari Karimunjawa, dikatakan boleh dibawa bila dalam bentuk souvenir di mana souvenir tersebut disertakan pula kayu dari pohon kalimasada yang menawarkan mitos untuk tidak dibawa keluar. Sedangkan aksesoris dari pohon stigi dipercaya oleh sebagian orang memiliki kekuatan untuk kesaktian misalnya memiliki kekebalan bagi pemakainya. Semoga yang terakhir ini tidak dipersiapkan karena itu bagian dari kesyirikan yang tentu tidak baik untuk keyakinan atau keimanan

Snorkeling 

    Setelah sarapan pagi di dekat alun-alun Karimunjawa kami pun check in di hotel, hanya untuk menitipkan tas dan keperluan pribadi yang dipercepat karena harus segera mengikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan yakni snorkeling. Inilah wisata ikonik di Karimunjawa. 

    Rombongan yang terdiri dari 38 orang dibagi menjadi dua kapal kecil, kami harus patuh setiap penumpang mengenakan pelampung demi keselamatan. Sedangkan kru kapal karena sudah terbiasa mereka tidak mengenakan pelampung barangkali karena memang sudah ahli berenang. 

    Perjalanan 30 menit menuju pulau kecil yakni Pulau Menjangan kecil di mana di situ sudah banyak kapal-kapal lain melaksanakan kegiatan yang menyenangkan bagi wisatawan yakni snorkeling. Kapal kami pun segera menyelinap di antara kapal-kapal yang lain karena masih ada tempat yang memungkinkan kami melakukan snorkeling. 

    Pemandu wisata segera menjelaskan bagaimana cara mengenakan perlengkapan snorkeling dan bagaimana untuk bisa melihat keindahan alam ciptaan Tuhan di bawah air. Aku pun tidak ketinggalan segera mengenakan perlengkapan yang diinstruksikan dan perlahan tubuh kebun masuk ke dalam air. Karena tidak bisa berenang aku harus berhati-hati supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 

    Terlihat Bu Nana begitu semangat menyemangati para teman-teman yang lain untuk segera turun dan dikatakan akan diberi saweran. Aku tidak tertarik dengan saweran karena aku memang tidak bisa berenang namun nyaliku tertantang juga untuk turun ketika teman-teman Yang lain sudah turun. Dan begitu menundukkan kepala masuk ke dalam air, subhanallah luar biasa ciptaanMu ya Allah begitu indahnya dunia bawah air. 

    Keindahan bawah air tidak bisa kunikmati cukup lama karena aku tidak terbiasa menahan nafas, meskipun ada alat untuk bernapas menggunakan mulut namun kesulitan aku bernapas dengan mulut karena tidak terbiasa. Alhasil melihat dunia bawah air pun dilakukan sebentar hanya beberapa detik kemudian kepala menyembol ke atas bernapas dengan terengah-engah sambil minum air laut yang asin dan kadang ada yang masuk ke hidung sehingga hidung pun terasa sakit. 

    Berfoto di bawah air menjadi bagian menarik dan itu merupakan paket wisata yang disiapkan oleh pemandu. Aku pun bersiap dengan foto di bawah air yang begitu menakutkan namun ingin pula melakukan karena ibu-ibu pun berani masa aku nggak berani kan malu. Alhamdulillah sesi foto ini pun dapat dilalui dengan membahagiakan meskipun hidung dan mulut terasa sakit sehingga aku segera naik kapal untuk minum dan menetralkan ketakutanku. 

    Keceriaan di tempat snorkeling berlangsung cukup lama sambil teriak-teriak maupun bercanda ria bersama kawan-kawan. Candaria yang menyegarkan dan menyejukkan. 

Menikmati ikan bakar 

    Bagian pengalaman lain yang tidak kalah menarik adalah menikmati ikan bakar di sebuah pulau yang begitu indah dengan pasir putih yang menghampar di mana-mana. Air laut yang begitu dangkal dan tenang sungguh memikat untuk belajar berenang. Kami pun bercanda ria bersenda gurau di dalam air layaknya anak-anak yang sedang bermain. Sungguh bisa melupakan rutinitas yang menjemukan.

    Ada hal yang menarik di mana aku bisa menambang di atas air dengan puisi tidak terlentang di atas air. Belajar ini harus dibayar dengan beberapa kali meminum serta menghirup air laut yang begitu asin dan getir. Bercanda ria sambil telentang di atas air terapung-apung mengikuti arus air tentu cukup aman karena memang pantainya landai jauh dengan ketinggian maksimal setinggi perut. 

    Beruntungnya bisa menikmati indahnya pantai pasir putih dan diakhiri dengan makan ikan bakar khas Karimunjawa, berbagai jenis ikan kami santap dengan takaran yang khas bumbu sambal yang begitu pedas menyimak mulut. Rasa lapar yang begitu mendera memaksa aku untuk mengambil kembali nasi dan sisa-sisa ikan yang masih ada di tempat hidangan. Hal sama dilakukan oleh teman-teman yang lain. 

    Sesi yang tidak kalah menarik adalah foto bersama dengan teriakan-teriakan histeris dan saling berebut untuk membuat kenangan terindah baik pribadi maupun bersama-sama. Tidak lupa pemandu menggunakan drone untuk mendapatkan sudut pandang video yang indah dan mengesankan. Cukup lama sesi foto ini dilakukan karena masing-masing memiliki ide untuk membuat kesan kenangan yang begitu indah.

 Foto bersama Hiu

    Usai makan kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat penangkaran hiu di mana untuk memasukinya kami harus membayar Rp20.000 per orang. Tentu kawan-kawan banyak yang tidak siap dengan biaya dadakan seperti ini ada yang karena memang tidak membawa uang saat snorkeling. Dan beruntungnya sudah dibayarkan oleh salah satu diantara pengurus atau event organizernya. 

    Ibu-ibu dan bapak-bapak saling bergantian untuk sesi foto bersama ikan hiu yang besarnya setidaknya sebesar paha orang dewasa. Ada ketakutan ada jeritan kecil ada wajah yang memerah bahkan ada yang sampai terkencing-kencing dan memang tujuannya kencing di dalam kolam yang langsung berhubung dengan laut dan hanya dibatasi dengan jaring. 

    Bagaimana tidak takut karena hiu termasuk hewan atau ikan yang ganas terkenal sebagai predator yang unggul di lautan. Bahkan oleh pemandu sengaja diberikan umpan berupa ikan yang sudah biasa menjadi santapan hiu dan dilemparkan ke depan peserta wisata yang turun untuk diabadikan dengan foto ataupun video. 

    Tempat penangkaran ini juga terdapat beberapa macam keramba yang diisi dengan ikan-ikan laut sangat besar dan seakan-akan ingin sekali kita menangkap langsung. Namun tentu saja tidak boleh karena memang di situ adalah tempat untuk penangkaran ikan-ikan terutama ikan hiu. Terdapat pula teripang atau bintang laut yang begitu lucu menggemaskan dan beberapa diantara ibu-ibu pun kesempatan memegang dan foto dengan bintang laut.

Gala Dinner

    Kenangan terindah di hotel Java Paradise menjadi lebih lengkap ketika setelah makan malam bakda maghrib diadakan acara gala dinner. Dengan pemandu MC terkenal bapak Agus Istiadi, keadaan pun semakin meriah. Satu persatu para peserta didaulat untuk menyanyi atau mengisi acara dengan kreasi masing-masing. Namun yang banyak diantara teman-teman adalah menyanyikan lagu-lagu kesukaan yang diiringi melalui musik karaoke YouTube. Karena penyanyi tidak bisa melihat tayangan dari YouTube tersebut, alhasil banyak sekali nyanyian yang tidak cocok karena belum hafal antara lirik dengan iringannya. 

    Usai gala dinner teman-teman banyak yang kemudian berbelanja ke alun-alun, dimana di alun-alun memang baru diadakan acara tahunan Barikan Kubro. Sebuah acara tradisional yang menghadirkan banyak sekali stand maupun pentas seni. Banyak yang bercerita tentang kehebohan diacara tersebut. Namun aku lebih suka dan lebih tertarik untuk segera ke kamar dan tidur agar bangun tidak kesiangan.

Bulan separuh di Karimunjawa 

    Cerah ceria pagi hari, angin sepoi sejuk menyejukkan hati. Tempat tidur di bibir indah pantai mengingatkan kembali ketika menginap di Samudra Beach  Hotel Palabuhan Ratu.

    Namun ketika perjalanan menuju masjid untuk berjamaah salat subuh, aku menerawang ke atas terlihat bulan separuh yang begitu cerah menyinari bumi meskipun dengan kekuatan hanya separuh. Ingatan pun menerawang kembali ketika di tahun 1986 aku berwisata ke Pangandaran. 

    Berjalan menuju masjid dimalam hari menjelang fajar menyingsing sendirian, tapak demi tapak ku lalui, melalui warung-warung dan toko yang sudah tutup. Namun masih ada beberapa kupu-kupu malam yang ingin menghisap madu kehidupan dunia yang diinginkan glamournya. Aku pun segera  mempercepat jalan seakan berlari ketakutan agar segera sampai di masjid yang sudah beberapa waktu mengumandangkan puji-pujian menjelang adzan subuh. Persis suasana ini ada di depan Java  paradise hotel. Lah kok ada pasangan muda-mudi dengan celana pendek naik motor dan terlihat begitu mesra, berhenti di depan masjid pula sambil main HP. Duh semoga tidak melakukan hal yang tidak diinginkan ketika belum jadi hak dan kewenangannya.

    Meskipun mendengar puji-pujian di masjid Mereka berdua pun tidak turun dari motor untuk menuju masjid ikut salat memang barangkali bukan warga yang biasa melaksanakan salat. Atau mungkin pula bukan warga asli karena begitu rajinnya pagi-pagi sudah bangun.

    Bulan separuh masih terus tersenyum di atas kepalaku di samping kolam renang di mana angin sepoi terus menerpa tubuhku. Sementara di langit sebelah timur semburat merah sudah mulai nampak dari sang surya yang akan terus menyinari bumi disiang hari Karimunjawa.

Sesi Foto

    Sebelum meninggalkan Hotel tidak lupa rombongan berfoto kembali untuk membuat kenangan terindah di halaman belakang hotel yang tepat sebagai bibir pantai berpasir  putih. Pose demi pose, gaya demi gaya, bahkan gaya gerakan untuk tiktok pun dilakukan dengan kocak dan kompak.

    Sesi foto berlanjut ke bukit cinta, sebuah bukit kecil dengan spot berupa pantai yang indah, pantai dengan latar pelabuhan dan kapal-kapal besar maupun kecil yang sandar dengan dikelilingi pantai pasir putih yang menghampar dan jauh masuk ke laut dengan dangkalan berwarna hijau. Berikut ini banyak sekali kenangan yang bisa dibuat oleh teman-teman sehingga mereka pun ceria. 

    Tidak berlangsung lama kami pun segera meninggalkan tempat menuju pelabuhan kepulangan. Cukup lama di pelabuhan ini kami makan siang sambil berkaraoke bersama kawan-kawan namun aku lebih menyukai untuk menyendiri memandang laut menikmati indahnya dunia. 

Kembali kenangan di Kelimutu 

    Kepulangan kami menggunakan kapal Kelimutu yang berangkat pada pukul 15.00 waktu Indonesia Barat. Tentu berbeda suasana dengan keberangkatan menuju Pulau Karimunjawa. Sore semakin sayup dengan pertanda alam berupa sunset yang menjadi momen ditunggu-tunggu oleh sebagian besar penumpang kapal. Penumpang kapal yang berkesempatan keluar tidak menyia-nyiakan untuk mengabadikan sunset tersebut. 

    Foto menangkap matahari, menelan matahari, ataupun hanya sekedar foto matahari yang akan tenggelam untuk bersembunyi dan beristirahat dari kerja siangnya. Sungguh ciptaan Allah yang luar biasa. Maha besar Allah dengan segala ciptaanNya

feature ringan

  Veteran Pramuka Moyudan “Tersesat Bahagia” di Magelang Hari itu Sabtu, 25 Oktober 2025, pagi yang sedikit mendung di Pedaran jadi saksi se...