Mak Cess
Ketika embun pagi menyentuh daun, seakan menenangkannya dari kerontang hari sebelumnya, datanglah seorang pendidik senior ke hadapanku, membawa beban yang terlihat sepele namun ternyata menyesakkan hati.
"Assalamualaikum, permisi Pak, saya ingin mencurahkan isi hati," katanya dengan nada yang serupa angin lembut, meski aku tahu di balik kata-katanya, badai sedang bergejolak.
Dalam hatiku, timbul pertanyaan: Apa gerangan badai yang sedang mengguncang damai hatinya? Bukankah selama ini ia selalu tenang bak danau tanpa riak?
"Saya kemarin mendapat tugas untuk menghadiri bimtek. Lalu, diberikanlah saya secarik kertas SPPD, dan sekarang sudah cair dana yang diberikan oleh Ibu Bendahara," katanya dengan bibir bergetar, seperti daun di ujung ranting yang rapuh. Namun, sebelum ia melanjutkan, kucegat dengan pertanyaan tajam, "Lalu, apa yang menjadi masalah, Bu?"
"Saya juga mendapat uang transport dari tempat bimtek, tapi kan aturannya tidak boleh double. Saya takut uang ini berbau haram, Pak," katanya, dan aku bisa merasakan betapa hatinya berguncang seperti daun yang hampir terlepas dari rantingnya.
Sejenak aku terpaku, pikiranku berlari-lari mencari jawaban yang tepat. Di satu sisi, ada banyak orang yang hanya mau bergerak jika dijanjikan emas atau perak. Namun, di hadapanku, ada jiwa yang menolak limpahan berlebih, khawatir kalau itu adalah tetes air yang mencemari kebeningan hatinya. Di zaman seperti ini, di mana banyak yang menunggu pelangi hanya untuk mengambil emas di ujungnya, aku berhadapan dengan seseorang yang ingin melepaskan emas itu kembali ke alam.
Dengan hati-hati, aku mencoba merangkai kata-kata, seolah menenun benang sutra dalam diam, "Bu, beberapa kali Ibu telah saya tugaskan dalam berbagai kegiatan, tetapi tidak ada transport atau kompensasi. Maka, apa yang Ibu terima saat ini adalah pengganti dari apa yang telah Ibu keluarkan sebelumnya. Ini bukanlah bayaran ganda yang melampaui batas, melainkan sekadar penyeimbang neraca yang pernah berat sebelah."
Namun, si ibu tetap teguh, seperti karang di lautan, menghadapi ombak yang terus menggulung. Ia ngotot ingin mengembalikan emas yang ia rasa bukan miliknya.
Akhirnya, aku menyerah pada kebaikan hatinya, "Bu, jika memang hati Ibu belum juga tenang, belanjakanlah uang itu di mana saja yang menurut Ibu bisa membawa kedamaian. Yakinlah, itu adalah hak yang sudah sepatutnya diterima."
Dengan wajah sebersih pualam, si ibu akhirnya menerima saranku, dan pergi setelah berpamitan. Ketika ia pergi, aku tertunduk, merenung, dan tersentuh oleh keikhlasannya yang datang dari lubuk hati yang terdalam. Ia bagaikan embun yang menyentuh relung jiwaku, membawa kesejukan yang tak terduga.
Hatiku menjadi tenang, ayem tentrem, seolah-olah melihat cahaya keemasan turun dari langit, membayangkan jika sikap seperti itu dimiliki oleh banyak orang. Mungkin saja, keberkahan hidup akan mengalir tanpa henti, seperti aliran air jernih yang tak pernah kering. Mak Cess.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar