The Independence of Satanic
April 2025
Oleh : Yuliyanto
Hari pertama setelah Ramadan, mereka berpesta. Langit malam dipenuhi cahaya kembang api dan petasan yang meledak tanpa henti, bukan sebagai tanda syukur, melainkan pemborosan. Uang yang sebelumnya ditahan untuk zakat dan sedekah, kini dihamburkan untuk mercon dan hiburan tanpa makna.
Di sudut lain, pasar dan pusat perbelanjaan masih penuh sesak. Orang-orang yang sebulan lalu menahan diri kini berbondong-bondong memenuhi setiap gerai, membeli barang-barang yang tak benar-benar mereka butuhkan. Kemubaziran merajalela. Makanan lezat tersaji berlimpah di meja makan, namun sebagian besar akhirnya berakhir di tempat sampah.
Di jalanan, pemandangan pun berubah. Jika sebelumnya orang-orang berbondong-bondong menuju masjid, kini mereka lebih tertarik menghabiskan waktu di tempat hiburan, menikmati kemewahan dan pesta pora. Hedonisme tumbuh subur, menutupi jejak kesederhanaan dan keikhlasan yang telah ditanam selama bulan Ramadan.
Dan di masjid? Sepi. Saf yang sebelumnya rapat kini kembali renggang. Suara lantunan ayat suci yang biasa menggema kini digantikan oleh hiruk-pikuk duniawi. Ibadah yang sebulan lalu dijaga dengan penuh disiplin, kini mulai ditinggalkan. Setan-setan tertawa puas. Mereka telah kembali, dan manusia dengan sukarela kembali mengikuti jejak mereka.
Namun, tidak semua manusia terperdaya. Masih ada yang tetap teguh, mempertahankan kebiasaan baik yang telah mereka bangun di bulan suci. Mereka inilah yang menjadi pengingat, bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan latihan agar manusia tetap mampu menahan godaan setan, bahkan ketika belenggu telah dilepaskan.
Dan di antara kegelapan kemerdekaan setan, cahaya kebaikan itu masih ada—menunggu siapa saja yang mau tetap berjalan di jalan yang lurus.
