Selasa, 01 April 2025

 The Independence of Satanic

April 2025

Oleh : Yuliyanto


    Selama sebulan penuh di bulan Ramadan, para setan dibelenggu. Dunia menjadi lebih tenteram. Manusia berlomba-lomba dalam ibadah, masjid-masjid penuh, dan kebiasaan baik menjadi hal yang lazim dilakukan. Namun, begitu gema takbir berkumandang menandakan akhir Ramadan, belenggu itu terlepas. Para setan pun bersorak merayakan "kemerdekaan" mereka.

    Hari pertama setelah Ramadan, mereka berpesta. Langit malam dipenuhi cahaya kembang api dan petasan yang meledak tanpa henti, bukan sebagai tanda syukur, melainkan pemborosan. Uang yang sebelumnya ditahan untuk zakat dan sedekah, kini dihamburkan untuk mercon dan hiburan tanpa makna.

    Di sudut lain, pasar dan pusat perbelanjaan masih penuh sesak. Orang-orang yang sebulan lalu menahan diri kini berbondong-bondong memenuhi setiap gerai, membeli barang-barang yang tak benar-benar mereka butuhkan. Kemubaziran merajalela. Makanan lezat tersaji berlimpah di meja makan, namun sebagian besar akhirnya berakhir di tempat sampah.

    Di jalanan, pemandangan pun berubah. Jika sebelumnya orang-orang berbondong-bondong menuju masjid, kini mereka lebih tertarik menghabiskan waktu di tempat hiburan, menikmati kemewahan dan pesta pora. Hedonisme tumbuh subur, menutupi jejak kesederhanaan dan keikhlasan yang telah ditanam selama bulan Ramadan.

    Dan di masjid? Sepi. Saf yang sebelumnya rapat kini kembali renggang. Suara lantunan ayat suci yang biasa menggema kini digantikan oleh hiruk-pikuk duniawi. Ibadah yang sebulan lalu dijaga dengan penuh disiplin, kini mulai ditinggalkan. Setan-setan tertawa puas. Mereka telah kembali, dan manusia dengan sukarela kembali mengikuti jejak mereka.

    Namun, tidak semua manusia terperdaya. Masih ada yang tetap teguh, mempertahankan kebiasaan baik yang telah mereka bangun di bulan suci. Mereka inilah yang menjadi pengingat, bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan latihan agar manusia tetap mampu menahan godaan setan, bahkan ketika belenggu telah dilepaskan.

    Dan di antara kegelapan kemerdekaan setan, cahaya kebaikan itu masih ada—menunggu siapa saja yang mau tetap berjalan di jalan yang lurus.

 Rukuh Apek

Catatan Lebaran 31 Maret 2025

Oleh : Yuliyanto

Lebaran tahun ini, kami memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah saudara di kampung lain. Di tengah perjalanan, kami mampir ke sebuah masjid Jami' yang cukup tua namun megah untuk menunaikan salat Dzuhur. Namun, ada satu hal yang luput dari perhatian yakni rukuh di masjid itu berbau apek.

Istriku yang hendak mengenakan rukuh itu langsung mengernyit. Aku melihatnya ragu-ragu, tetapi tak punya pilihan lain. Ia pun mengenakan rukuh itu dengan sedikit menahan napas. Apalagi sang imam melaksanakan shalat dengan sujud yang begitu lama. Begitu selesai shalat, ia segera keluar dengan ekspresi lega.

"Aduh, Mas, rukuhnya apek sekali," bisiknya padaku. "Sepertinya sudah lama tidak dicuci."

Aku hanya tersenyum kecil. Namun, sesuatu tampak mengusik benaknya. Di perjalanan pulang, ia terdiam sejenak lalu berkata, "Mas, aku baru ingat. Di masjid kampung kita, rukuhnya juga seperti ini, ya?"

Aku mengangguk, menyadari hal yang sama. Rukuh-rukuh yang tersedia untuk jamaah perempuan sering kali terabaikan. Dipakai berkali-kali, jarang dicuci, dan akhirnya berbau tak sedap.

Saat jamaah Shalat Subuh, istriku langsung semangat, ia mengumpulkan rukuh yang ada, membawanya pulang, dan mencucinya satu per satu. Tidak lama karena hari begitu terik, cucian pun sudah kering dan waktu Luhur tiba, segera rukuh/ mukena dibawa ke  masjid dalam  keadaan bersih dan wangi. Dan yang lebih mengesankan kebetulan sudah ada ibu-ibu dari kampung lain yang mau shalat Luhur di masjid.

Legaaaa.

feature ringan

  Veteran Pramuka Moyudan “Tersesat Bahagia” di Magelang Hari itu Sabtu, 25 Oktober 2025, pagi yang sedikit mendung di Pedaran jadi saksi se...