Selasa, 13 Agustus 2024

Torani

 Torani


    Riak-riak putih bergulung-gulung seperti hendak menerbangkan kapal Kelimutu yang semakin lama semakin menjauh dari dermaga mewah Tanjung Mas Semarang. Kuraih angan kugapai mimpi kenangan melintas begitu indah bersama kapal tua 35 an tahun yang lalu. Bahtera besi yang setia mengarungi samudera nusantara mengantarkan anak bangsa dari sudut-sudut nusantara menuju asa masing masing. 

    Pelan namun pasti deru mesin tua terus menggetarkan lantai kayu yang juga sudah rapuh disana-sini. Kutatap samping kanan kiri kapal yang riak-riaknya kian berbusa-busa seperti dosen killer yang semangat sekali memberikan kuliah yang seringkali tidak aku pahami ketika perkuliahan dulu diiringi kantuk tak tertahankan di kampus. 

    Tatapanku terganggu dengan kelebatan bayangan hitam sambil menyeringai ringan seakan menghina diriku yang tertegun dan terpaku tak berdaya menatap kelebatan itu menjauh dari kapal. Senyuman bulan separuh tak mampu menjelaskan apa itu kelebatan yang lenyap ditelan malam. Merenung, mengingat, menjuntaikan harapan untuk memahami apa yang terjadi, sesaat aku melongo sendirian dikesepian malam diombang ambing ombak tengah laut Jawa yang mendesirkan angin asin.

    Tarawani, ya tarawani penduduk setempat sekitar Makasar menyebut kelebatan hitam tersebut. Tarawani menjadi maskot sebuat stasiun TV swasta waktu itu. Ternyata bukan bayangan yang menyeramkan ketika aku tahu pagi harinya banyak ikan terbang itu berada disekitar kapal. Subhanallah begitu indah melihat mereka terbang dengan "sayap" yang tidak mengepak dan beresiko disambar burung pemangsa ikan segar. Aku belum pernah memakan ikan tarawani, rasanya pingin mencoba sedapnya tarawani bakar.

    Budaya warga Makasar menangkap ikan tarawani terangkum dalam Torani sebagai sebutan perburuan telur ikan tarawani.


Jumat, 02 Agustus 2024

Mak Cess

 Mak Cess


    Ketika embun pagi menyentuh daun, seakan menenangkannya dari kerontang hari sebelumnya, datanglah seorang pendidik senior ke hadapanku, membawa beban yang terlihat sepele namun ternyata menyesakkan hati.

    "Assalamualaikum, permisi Pak, saya ingin mencurahkan isi hati," katanya dengan nada yang serupa angin lembut, meski aku tahu di balik kata-katanya, badai sedang bergejolak.

    Dalam hatiku, timbul pertanyaan: Apa gerangan badai yang sedang mengguncang damai hatinya? Bukankah selama ini ia selalu tenang bak danau tanpa riak?

    "Saya kemarin mendapat tugas untuk menghadiri bimtek. Lalu, diberikanlah saya secarik kertas SPPD, dan sekarang sudah cair dana yang diberikan oleh Ibu Bendahara," katanya dengan bibir bergetar, seperti daun di ujung ranting yang rapuh. Namun, sebelum ia melanjutkan, kucegat dengan pertanyaan tajam, "Lalu, apa yang menjadi masalah, Bu?"

    "Saya juga mendapat uang transport dari tempat bimtek, tapi kan aturannya tidak boleh double. Saya takut uang ini berbau haram, Pak," katanya, dan aku bisa merasakan betapa hatinya berguncang seperti daun yang hampir terlepas dari rantingnya.

    Sejenak aku terpaku, pikiranku berlari-lari mencari jawaban yang tepat. Di satu sisi, ada banyak orang yang hanya mau bergerak jika dijanjikan emas atau perak. Namun, di hadapanku, ada jiwa yang menolak limpahan berlebih, khawatir kalau itu adalah tetes air yang mencemari kebeningan hatinya. Di zaman seperti ini, di mana banyak yang menunggu pelangi hanya untuk mengambil emas di ujungnya, aku berhadapan dengan seseorang yang ingin melepaskan emas itu kembali ke alam.

    Dengan hati-hati, aku mencoba merangkai kata-kata, seolah menenun benang sutra dalam diam, "Bu, beberapa kali Ibu telah saya tugaskan dalam berbagai kegiatan, tetapi tidak ada transport atau kompensasi. Maka, apa yang Ibu terima saat ini adalah pengganti dari apa yang telah Ibu keluarkan sebelumnya. Ini bukanlah bayaran ganda yang melampaui batas, melainkan sekadar penyeimbang neraca yang pernah berat sebelah."

    Namun, si ibu tetap teguh, seperti karang di lautan, menghadapi ombak yang terus menggulung. Ia ngotot ingin mengembalikan emas yang ia rasa bukan miliknya.

    Akhirnya, aku menyerah pada kebaikan hatinya, "Bu, jika memang hati Ibu belum juga tenang, belanjakanlah uang itu di mana saja yang menurut Ibu bisa membawa kedamaian. Yakinlah, itu adalah hak yang sudah sepatutnya diterima."

    Dengan wajah sebersih pualam, si ibu akhirnya menerima saranku, dan pergi setelah berpamitan. Ketika ia pergi, aku tertunduk, merenung, dan tersentuh oleh keikhlasannya yang datang dari lubuk hati yang terdalam. Ia bagaikan embun yang menyentuh relung jiwaku, membawa kesejukan yang tak terduga.

    Hatiku menjadi tenang, ayem tentrem, seolah-olah melihat cahaya keemasan turun dari langit, membayangkan jika sikap seperti itu dimiliki oleh banyak orang. Mungkin saja, keberkahan hidup akan mengalir tanpa henti, seperti aliran air jernih yang tak pernah kering. Mak Cess.

feature ringan

  Veteran Pramuka Moyudan “Tersesat Bahagia” di Magelang Hari itu Sabtu, 25 Oktober 2025, pagi yang sedikit mendung di Pedaran jadi saksi se...