Selasa, 26 Agustus 2025

“Semut Kecil dan Hati yang Besar”

 “Semut Kecil dan Hati yang Besar”

diambil dari kisah nyata

Oleh : Yuliyanto


    Pagi itu, Bu Sumarni sudah bersiap sejak subuh. Dengan setelan sederhana dan map berisi fotokopi Kartu Keluarga, KTP, serta surat keterangan dari sekolah, ia menuju bank untuk mengaktivasi rekening bantuan PIP milik putranya, Raka, siswa kelas 8 di sebuah SMP negeri.

    “Alhamdulillah, ini rezeki anak kita,” ucapnya kepada suaminya sebelum berangkat. Senyumnya merekah walau kakinya belum benar-benar pulih dari sakit beberapa minggu lalu.

    Namun, perjalanan ke bank tidak semudah yang ia bayangkan. Di pertigaan kampung, motor yang ia tumpangi tiba-tiba mogok. Ia harus mendorongnya hampir satu kilometer. Sesampainya di bank, antrian sudah panjang. Cuaca panas terik menambah lelah di tubuhnya. Tapi ia tetap sabar. Demi anak.

    Ketika akhirnya dipanggil ke teller, ia diberi tahu bahwa ada kesalahan penulisan nama di buku tabungan. Ia harus kembali ke sekolah untuk meminta surat pembetulan. Dengan lelah, ia menghela napas, lalu naik ojek menuju sekolah.

    Dalam perjalanan pulang, tubuhnya terasa lemas. Sesampainya di rumah, ia mengeluh telinganya terasa gatal dan berdengung. Beberapa saat kemudian, rasa nyeri tak tertahankan menyerang telinganya. Suaminya panik, dan segera membawanya ke IGD RSU terdekat.

    Di rumah sakit, dokter menemukan seekor semut kecil yang masuk cukup dalam ke saluran telinga. Entah dari mana datangnya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga hati yang mulai lelah.

    Di ruang tunggu, sambil menahan perih dan lelah, suaminya menggenggam tangannya dan berkata pelan,

    “Marni… mungkin ini pertanda. Kita bukan keluarga yang berlebih, tapi masih cukup. Lihatlah sekeliling. Masih banyak yang lebih membutuhkan. Bagaimana kalau PIP itu kita kembalikan saja? Biar jadi jalan rezeki orang lain yang lebih membutuhkan.”

    Bu Sumarni terdiam. Air mata menetes pelan. Bukan karena sakit, tapi karena hatinya tersentuh. Ia sadar, niat baik tidak selalu harus diwujudkan dengan menerima. Kadang, menolak sesuatu demi orang lain juga bentuk paling tulus dari kebaikan.

    Beberapa hari kemudian, Bu Sumarni mendatangi sekolah. Ia menyampaikan keputusan kepada pihak sekolah:

    “Terima kasih atas bantuannya. Tapi kami ikhlas bila beasiswa ini diberikan pada anak lain yang lebih membutuhkan. Kami masih bisa berjuang.”

    Kisah Bu Sumarni menyebar pelan di antara wali murid lain. Bukan karena dramanya. Tapi karena keberaniannya memilih memberi di saat bisa menerima.

    Kadang, inspirasi datang dari hal kecil.

Bahkan dari seekor semut di telinga—yang mengetuk pintu hati dan membuka jalan kebaikan.

feature ringan

  Veteran Pramuka Moyudan “Tersesat Bahagia” di Magelang Hari itu Sabtu, 25 Oktober 2025, pagi yang sedikit mendung di Pedaran jadi saksi se...